Selasa, 05 Maret 2019

Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria

Oleh: Muhamad Sohibuddin
Peneliti Pusat Study Agraria IPB dan Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria
(Kompas, Sabtu 2 Maret 2019)

Seusai debat calon presiden kedua pada 17 Februari 2019, isu mengenai ketimpangan agraria ramai diperdebatkan publik.
Di satu sisi, calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, dituding kubu capres nomor urut 01, Joko Widodo, sebagai bagian dari elite yang menguasai separuh lebih kekayaan nasional di bidang agraria dan karena itu tidak punya legitimasi moral untuk menggugat isu ketimpangan. Sebaliknya, kubu pendukung capres 02 mengkritik redistribusi tanah yang dibanggakan Jokowi sebagai petahana, hanya sertifikasi tanah belaka tanpa merombak struktur agraria yang timpang.
Munculnya isu ketimpangan agraria dalam perdebatan publik sebenarnya sangat positif karena telah menggugat ironi terbesar reformasi: proses demokratisasi politik justru mempertajam kesenjangan sosial-ekonomi. Di sektor kehutanan, misalnya, dari total lebih dari 26,17 juta hektar izin usaha pemanfaatan hutan (HPH dan HTI), 90,74 persen terbit dua dekade derakhir (KLHK 2018). Sebagian besar alokasi ini diperuntukan bagi korporasi. Sayangnya, perdebatan publik ini, karena artikulasinya yang polemis, sama-sama tidak menyasar initi persoalan dari ketimpangan agraria.
foto: Kominfo.go.id

Ketimpangan distribusi
Dua jenis ketimpangan agraria harus dibedakan agar isu ini bisa dibahas lebih jernih. Pertama, ketimpangan distribusi, yakni kesenjangan penguasaan lahan antar-kelas di dalam sektor usaha tani rakyat. Kedua, ketimpangan alokasi, yakni kesenjangan peruntukan sumber-sumber agraria antar-sektor, antara yang dialokasikan untuk korporasi dan untuk rakyat (Shohibuddin, 2019).
Berdasarkan sensus pertanian 2013, jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia lebih dari 26,13 juta. Dari jumlah ini, 44,95 persen petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5 ha) dan 31,68 persen petani kecil (menguasai 0,5-1,99 ha), sisanya 12,37 persen merupakan petani mampu yang terdiri atas 6,21 persen petani menengah (menguasai 2,0-2,99 ha) dan 6,16 persen petani kaya (menguasai lebih dari 3 ha).
Dari data sensus ini juga diketahui total lahan pertanian rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar (38,49 persen) dikuasai oleh 6,16 persen petani kaya yang rata-rata menguasai 5,37 ha. Di posisi berikutnya, 33,77 persen lahan rakyat ini dikuasai petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan 0,91 ha. Lalu, 15,8 persen dikuasai petani menengah yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Petani gurem yang merupakan mayoritas hanya menguasai 11,94 persen lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan 0,18 ha. Dari data ini sudah terlihat jelas betapa parah ketimpangan distribusi di sektor pertanian rakyat.
Jika batas minimum 2 ha dijadikan patokan penguasaan lahan ideal (sesuai UU Land Reform No 56/1960), beginilah potret ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi: 54,29 persen lahan pertanian rakyat dikuasai oleh 12,37 persen golongan petani yang menguasai lahan 2 ha keatas, sementara 45,71 persen total lahan pertanian harus menampung 87,63 persen petani yang menguasai lahan di bawah batas minimum.
Jika data diatas dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003, terdapat beberapa fakta yang menarik. Selama satu dekade ini, jumlah RTP di Indonesia berkurang lebih dari 5,09 juta (16,32 persen). Penurunan tersebut terjadi pada golongan petani gurem (mencapai lebih dari 5,17 juta). Anehnya, golongan petani kecil dan menangah juga berkurang, berturut-turut sebesar 163.419 dan 54.928 orang. Hanya pada golongan petani kaya terjadi kenaikan 297,831 yang membuat golongan menjadi 1.308.728 orang.
Teori modernisasi akan melihat penurunan jumlah KTP ini sebagai hal yang positif: beban sektor pertanian akan berkurang, RTP yang tertinggal akan bertambah penguasaan lahannya, sementara RTP yang keluar menjadi angkatan kerja untuk sektor industri dan jasa di perkotaan. Namun, asumsi linier ini ternyata tidak banyak terbukti, keluarnya 5,17 juta petani gurem tidak diiringi kenaikan petani kecil dan menengah yang justru menyusut sebesar 1,94 persen dan 3,27 persen. Jutaan petani gurem itu sendiri keluar bukan karena peluang kerja yang lebih baik di sektor non-pertanian (pull factor), melainkan karena tidak tertampung di sektor pertanian 9push factor). Mereka terpaksa harus mengadu nasib ke kota-kota dan bahkan mancanegara.
Kondisi ketimpangan distribusi ini cerminan dari stagnasi transformasi agraria di Indonesia akibat tak dijalankannya land reform secara serius. Padahal, land reform adalah mekanisme menciptakan apa yang dalam wacana kebijakan sosial disebut “keadilan dalam peluang”, yaitu melalui jaminan titik tolak yang relatif sama bagi semua petani. UU No 56/1960 menerjemahkan “Titik tolak yang relatif sama” ini dengan mengupayakan penguasaan lahan 2 ha sebagai batas minimum usaha tani rakyat.
foto: Buku Pelaksanaan Reforma Agraria (KSP)

Ketimpangan alokasi
Dalam UU Pokok Agraria (UUPA) “keadilan dalam peluang” ini disebut dengan dorongan mewujudkan “usaha bersama dalam lapangan agraria atas dasar kepentingan bersama..... Dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainya” (Pasal 12 Ayat (1)). Atas dasar ini, konsesi tanah berupa hak guna usaha (HGU) bisa diberikan kepada koperasi atau kolektivitas lain milik rakyat untuk pengambangan usaha bersama komersial di bidang agraria.
Dengan demikian, ada dua jalur yang bibayangkan UUPA untuk mewujudkan transformasi agraria, Pertama, pembentukan kelas petani menengah yang kuat dengan penguasaan lahan minimal 2 ha yang diupayakan lewat land reform. Kedua, pengembangan usaha bersama pertanian komersial di kalangan masyarakat pedesaan melalui pemberian HGU kepada koperasi atau kolektibitas rakyat lainnya. Tentu saja, HGU bisa diberikan kepada korporasi, tetapi bukan berarti pihak ini menjadi prioritas utama.
Pada kenyataannya, dua jalur transformasi agraria inilah yang terus diingkari. Selama lebih dari lima dekade, semua rezim yang memerintah selalu bertumbu pada kekuatan modal besar. Akibatnya, kondisi ketimpangan agarria bertambah parah, khususnya ketimpangan alokasi. Menurut Winoto (2007), 56 persen aset nasional berupa tanah dikuasai oleh hanya sekitar 0,2 persen elite ekonomi. Yang menarik, simpanan uang di lembaga perbankan nasional memiliki proporsi ketimpangan nyaris sama: 56,87 persen dari total simpanan uang dikuasai oleh hanya 0,11 persen pemilik rekening kaya dengan simpanan diatas Rp 2 miliar (LPS 2017). Hal ini mengindikasikan bahwa kemakmuran segelintir elite itu diperoleh dari penguasaan sumber-sumber agraria dan eksploitasi berbagai kekayaan alamnya.
Di sektor kehutanan, ketimpangan alokasi ini amat mencolok. Dari semua jenis alokasi kawasan hutan, lebih dari 40,46 juta ha (95,76 persen) jatuh ke korporasi, hanya sekitar 1,74 juta ha (4,14 persen) diberikan untuk rakyat, dan lebih sedikit lagi (41,2 ribu ha atau 0,1 persen) untuk kepentingan umum. Ironisnya, ketimpangan agraria ini naik pesat di era Reformasi, khususnya selama pemerinmtah Susilo Bambang Yudhoyono (2014-2014). Dalam periode ini telah terbit izin pinjam pakai kawasan hutanseluas 288.255,13 ha (55,62 persen), izin pemanfaatan hutan untuk HTI 4.707.649 ha (46,93 persen) dan untuk HPH 10.220.493 (63,33 persen).
Di luar kawasan huta, hingga 2016 luas HGU mencapai lebih dari 15 juta ha dengan 1,034 juta ha di antaranya dalam kondisi terlantar. Selain itu, terdapat hampir 3,58 juta ha izin lokasi yang haknya belum ada juga terlantar (KATR/BPN 2017). Apabila konsesi tambang diperhitungkan, ketimpangan alokasi akan lebih tajam lagi. Sebab, konsesi ini bisa non-kawasan hutan.
foto: Lentera Diatas Bukit

Relevankan RAPS?

Tantangan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang dijalankan pemerintah adalah sejauh mana ia bisa merespon dua jenis ketimpangan agraria di atas sekaligus. Oleh karena itu, relevansi RAPS ini ditentukan oleh sejauh mana dampaknya bersifat kolekti, netral, atau justru memperparah ketimpangan.

Apabila RAPS berhasil mempersempit jurang kesenjangan antarkelas dan antarsektor, barulah ia dapat disebut “reforma agraria sejati”. Tetapi, jika dampaknya tak mengubah apa-apa (status quo), maka sebenarnya ia “reforma agraria palsu”. Apabila jika ia justru memperdalam ketimpangan yang ada, maka di sini ia dapat dikecam keras sebagai kebijakan “anti reforma agraria”.

********

Jumat, 22 Februari 2019

Letusan Konflik Agraria Selama 2015-2017

[Artikel singkat ini pertama kali terbit di facebook pada tanggal 18 Januari 2018. Sekarang saya post ulang di blog untuk kepentingan pembelajaran]

Oleh: Amat

Tahun 2017 adalah tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK, pada tahun sebelumnya tingginya catatan mengenai konflik agraria sepanjang periode 2015 hingga 2016, menjadikan semacam paradoks bagi pemerintahan Jokowi-JK, disatu pihak pemerintah terus menerus mempopulerkan program reforma agraria, sementara dipihak lain ekskalasi konflik dilapangan berbanding terbalik dengan cita-cita reforma agraria, yang salah satunya ialah menyelesaikan konflik agraria.

Konflik agraria 2015-2016
Terkait dengan catatan mengenai masifnya konflik agraria pada periode 2015-2016, sekelumit secara sepintas lalu saya pernah menuliskan postingan artikel di blog pribadi, dengan judul: "Dia Yang Fasis Berwajah Lugu, Menghantam Rakyat Dengan Serdadu (Catatan Mengenai Pelanggaran HAM Dan Konflik Agraria Di Indonesia Pada Periode 2015-2016)" [1] dalam artikel tersebut saya mengutip statmen mas Hafid dari Komnas HAM, Hafid menyebutkan,
"Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim di dunia,"
Sebagian besar tanah Indonesia ini dikuasai segelintir perusahaan saja seperti HPH, perkebunan sawit, tambang, dsb. Ada 1 orang (Sinarmas) yang menguasai 5 juta hektar tanah. Padahal jika dibagi ke 5 juta petani, bisa didapat 50 juta ton beras/tahun. Cukup untuk makan 500 juta orang. Bagi Hafid, distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah.


Statistik yang lebih komprehensif mengenai konflik agraria sepanjang 2015-2016 bisa dilihat pada dokumen sekaligus menjadi laporan akhir tahun 2016 yang dirilis KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) [2] dan laporan akhir tahun yang dirilis AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) [3] dalam laporan akhir tahun 2016 KPA menyebut,
"Jika di tahun 2015 terjadi 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK. Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus."
Pada laporan akhir tahun 2016, AGRA menyebut, "Sepanjang tahun 2016, AGRA juga mencatat setidaknya ada 30 konflik agraria di 12 Provinsi yang mengakibatkan kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan masyarakat yang mempertahankan tanah, baik konflik baru atau konflik lama yang kembali memanas karena tak kunjung selesai."
"Dari 30 kasus tersebut 92 petani korban kekerasan, 39 korban penembakan, 228 orang ditangkap dan 83 dikriminalkan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini, sekitar 200 petani kecil ditangkap dan dikriminalkan dengan tuduhan pembakar lahan di Kalimantan dan Sumatra."
Fakta mengenai meningkatnya ekskalasi konflik agraria di sepenjang periode 2015-2016 itulah yang saya maksud paradoks dari pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah masif mempopulerkan program reforma agraria yang menurut pemerintah dapat menyelesaikan konflik, sementara yang terjadi dilapangan justru konflik semakin meningkat.


Konflik Agraria 2017
Pada penghujung akhir tahun 2017, KPA meluncurkan Catatan Akhir Tahun 2017. Berlangsung di Resto Tjikini Lima di daerah Cikini Rabu, (27/12/2017), pukul 10.00 WIB. Hadir dalam acara ini Sekjend KPA, Dewi Kartika, Ketua Harian PBNU, M. Maksum Machfoedz, dan anggota DPR RI, Budiman Sudjatmiko. Hasil catatan akhir tahun KPA, berisi mengenai (1). Laporan Konflik Agraria 2017, (2). Laporan Kemajuan Reforma Agraria 2017 (3). Monitoring Kebijakan Agraria 2017. [4]
Dewi Kartika mengatakan "Di tahun 2017, KPA mencatat terjadi kenaikan konflik sebesar 50 persen dibandingkan 2016, dari 450 konflik ke 659 konflik"
"Pemerintahan Jokowi ini tidak mempunyai kehendak politik yang kuat untuk melaksanakan reforma agraria. Terlihat dari jumlah konflik agraria selalu meningkat dari waktu ke waktu. Tahun ini terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 ha lahan dan melibatkan sebanyak 652.738 KK.”
Dari semua sektor yang dimonitor, perkebunan masih menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian konflik. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 (12%) kejadian konflik. Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017.
“Jika dirata-rata, hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini.” Lebih lanjut Dewi menambahkan.


Budiman Sudjatmiko menanggapi pemaparan catatan akhir tahun KPA ini dengan beberapa catatan, bahwa "konflik agraria struktural ini memang sudah berlangsung lama dan program reforma agraria yang dijalankan pemerintah juga mengalami banyak kendala. Namun ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan, seperti kalau di tingkat desa ada UU Desa yang mampu mengangkat perekonomian lokal melalu badan usaha milik rakyat atau milik desa."
Prof Maksum Makfoedz menambahkan bahwa korban konflik agraria banyak yang merupakan kaum Nahdliyin dan kaum Marhaen. “Apa yang terjadi di Kulon Progo dan di Kendeng itu yang jadi korbannya kan banyak dari Nahdliyin dan kaum Marhaen”.
NU pada pra Munas alim ulama dan pra Konferensi Nasional Lampung pada november yang lalu telah meneguhkan diri untuk memperjuangkan reforma agraria karena angka ketimpangan pemilikan lahan ini sangat tinggi. “Ketidakadilan agraria di Indonesia sudah sedemikian parah, perusahaan memonopoli lahan jutaan hektar sementara rakyat digusur dari tanahnya”. Ujar Prof Maksum.
Mayoritas konflik terjadi di Jawa Timur (60 konflik), Sumatera Utara (59 konflik), Jawa Barat (55 konflik), Riau (47 konflik), dan Lampung (35 konflik). Kelima provinsi ini menyumbang 38,85 persen dari total 659 konflik agraria. Demikian catatan akhir tahun 2017 sebagaimana dilansir dari situs web KPA.


Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria dengan rincian 252 konflik pada 2015 yang meningkat menjadi 450 konflik pada 2016 dan pada 2017 konflik kembali meninggi di angka 659 konflik. Catatan konflik agraria selama 3 tahun (2015-2017), yang melonjak tinggi bagai melonjaknya tarif dasar listrik, bagai melonjaknya harga kebutuhan pokok dan bagai ribuan lonjakan-lonjakan yang lainnya, menjadikan banyak kalangan mempertanyakan reforma agraria macam apa yang diprogramkan oleh pemerintah? kenapa program reforma agraria justru melahirkan banyak konflik?
Sepanjang 2017 ada 659 konflik yang melibatkan 652.738 KK (kepala keluarga) apabila kita ambil rata-rata 1KK beranggotakan 4 orang, maka jumlah korban konflik agraria pada tahun 2017 saja mencapai kira-kira 2.610,952 (4x652.738), 2,6 Juta jiwa. Angka 2,6 juta yang kita hitung ini korban manusia bukan ayam atau kambing, korban adalah para petani yang tanahnya dirampas oleh para korporasi besar, oleh para tuan tanah dari golongan 0,2% yang memonopoli 74% tanah yang ada di Indonesia. Perampasan tanah dilakukan melalui alat pemaksa (baca: aparat keamanan), tak sedikit para petani kita meninggal merenggang nyawa ditembak aparat hanya karena mempertahankan Hak atas tanah. Rincian korban konflik tertinggi adalah kriminalisasi (369 korban), menjadi korban penganiayaan (224 orang), tertembak (6 orang), bahkan hingga tewas (13 orang).


Ada yang bilang, "Kejahatan, keangkaramurkaan dan kelaliman dapat terus eksis salah satunya karena mereka orang baik dan berilmu hanya berdiam saja" sudah saatnya bagi siapapun yang melihat ketidakadilan untuk bersuara, mereka yang berani bersuara bicara tentang ketidakadilan jauh lebih hebat daripada mereka yang mengetaui tentang ketidakadilan tapi hanya diam.
Kepada semua kawan-kawan aktivis agraria di seluruh Indonesia artikel ini ditunjukan, semoga kian teguh bersama kaum tani untuk mewujudkan reforma agraria sejati, kepada pemerintah tanpa ragu saya sebut bahwa program reforma agraria versi Jokowi-JK yaitu program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial) hanyalah ilusi dari janji Nawacita yang bahkan setelah 3 tahun berjalan, bukannya terealisasi untuk reforma agraria yang dicita-citakan para petani, tapi malah sebaliknya justru melahirkan konflik yang semakin tinggi, RAPS justru melapangkan jalan bagi perampasan tanah, bagi konflik agraria yang terus menerus terjadi tanpa henti.

Wonosobo, 18 Januari 2018

*****
Referensi
[1] Catatan Mengenai Pelanggaran HAM dan Konflik Agraria di Indonesia pada periode 2015-2016, "Dia yang Fasis Berwajah Lugu Menghantam Rakyat Dengan Serdadu" http://amatsenopati.blogspot.co.id/…/dia-yang-fasis-berwaja… (Diakses dari Wonosobo, 18 Januari 2018)
[2] Laporan Akhir tahun 2016 KPA, “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan” http://www.kpa.or.id/…/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2…/ (Diakses dari Wonosobo, 18 Januari 2018)
[3] Catatan Akhir Tahun 2016 AGRA, "AGRA Mengajak kepada seluruh jajaran organisasi, seluruh kaum tani dan Rakyat luas Indonesia untuk terus memperbesar organisasi, memperkuat persatuan dan memajukan perjuangan, wujudkan Reforma agraria Sejati!" http://agraindonesia.org/catatan-akhir-tahun-2016/ (Diakses di Wonosobo, 18 Januari 2018)
[4] Catatan Akhir Tahun 2017 KPA, http://www.kpa.or.id/…/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2…/ (Diakses dari Wonosobo, 18 Januari 2018)
Foto: [Dok aktual.com]