Oleh : Amat
Membaca publikasi Konferensi Tenurial 2017 seperti membuka sejarah reforma agraria di Indonesia dari masa ke masa. Dalam rilis resmi mengenai hasil dan rekomendasi disebutkan, "Pada 25-27 Oktober2017 di Jakarta telah diselenggarakan Konferensi Tenural 2017. Konferensi yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial dan diselenggarakan bersama Kantor Staf Presiden RI (KSP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini dihadiri oleh 541 orang dari berbagai kalangan termasuk wakil-wakil pemerintahan, akademisi dalam dan luar negeri, praktisi, aktivis dan masyarakat dari 40 kabupaten, 23 propinsi di Indonesia."
"Konferensi Tenurial 2017 ini dibuka di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo.Konferensi ini dihadiri oleh Kepala Staf Presiden, Drs.Teten Masduki Perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Menteri Koordinator Perekonomian, Prof.Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr.Siti Nurbaya, Menteri ATR/BPN Dr.Sofyan Djalil, Menteri Desa PDT dan Transmigrasi Eko P. Sandjojo, MA dan Menteri PU dan Perumahan Rakyat Dr. Mochamad B Hadimoeljana"
Pada tahun ke tiga pemerintahan Joko Widodo, Jokowi mampu mengkonsolidasikan kekuatan politik oposisi di negri monopoli tanah, ancaman terbesar negri agraris yang monopoli tanah masih eksis adalah gerakan agraria. Rezim Jokowi tau akan hal ini, itulah sebabnya dibuatlah program RAPS (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial), banyak aktivis agraria menyambutnya, banyak pula yang sukarela menjadi mitra bagi jalannya RAPS, namun ada pula yang menentangnya, publik tentu bertanya kenapa bisa terjadi perpecahan sikap dan pandangan politik terkait RA? benarkah RAPS adalah benar-benar jalan bagi reforma agraria? memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini, sebab pertanyaan reforma agraria adalah pertanyaan bangsa yang telah berusia ratusan tahun yang hingga sekarang belum terjawab. Reforma agraria bukan sekedar problem petani, reforma agraria adalah problem bangsa.
Pro kontra RAPS di organisasi akar rumput dan perbedaan sikap gerakan rakyat.
KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) adalah yang terdepan dikubu penggagas, pendukung, pembela program RAPS, KPA adalah NGO yang telah lebih dari 20 tahun konsen di isu agraria. Di lain pihak AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) adalah kubu menentang program RAPS, AGRA adalah orkesmas (organisasi kemasyarakatan) taraf nasional yang menghimpun petani, nelayan dan suku bangsa minoritas (masyarakat adat) lahir sejak konferensi tani nasional 24 Februari 2004 di Wonosobo.
Saat konferensi 1 AGRA (2004) saya masih SMP, saya ingat waktu itu lagi bolos sekolah di alun-alun tumpah ruah demo petani dengan massa 30.000 orang, Jalanan dibuat macet total, yel yel pada waktu itu adalah "Bubarkan Perhutani" "Laksanakan Reforma Agraria" "Tanah Untuk Rakyat" dsb. Saking sesak dan ramainya kota dipenuhi massa, sampai-sampai pihak kepolisian resort Wonosobo pun mendatangkan bala bantuan dari 4 kabupaten disekitarnya (Temanggung, Magelang, Banjar, Purbalingga) tapi demo menjelang Konferensi Nasional 1 AGRA pada waktu itu berjalan damai, tak ada caos, tak ada kerusuhan dan konferensi tani nasional pun lahir yang manendai lahirnya organisasi tani tingkat nasional, kaum tani mempunyai organisasinya sendiri, dengan struktur kepengurusan modern, punya program umum perjuangan, punya konstitusi (ADART). Sejak awal lahirnya AGRA sesuai namanya tentu bertujuan mewujudkan reforma agraria.
Yang unik dari Konferensi 1 AGRA (2004), yang terpilih menjadi Sekretaris Jendral (Sekjend) AGRA pertama adalah Bung Erpan, Bung Erpan pada waktu itu juga aktif sebagai Sekjend KPA. Mengenai hal ini, silahkan bisa diklarifikasi dan konfirmasi melalui dokumen-dokumen milik KPA maupun dokumen milik AGRA. Terlepas perbedaan pandangan politik mengenai RAPS pada saat ini, sebenarnya sampai sekarang hubungan antara KPA dan AGRA masih baik-baik saja, KPA masih konsen di isu agraria, AGRA juga masih konsen di isu agraria, bahkan KPA dalam sejarahnya punya banyak peran ikut terlibat dalam pembangunan awal AGRA. Tapi dalam dunia gerakan bukan sekedar hubungan sejarah dan emosional, malahan yang terpenting dari dunia gerakan adalah hubungan atas landasan sikap politik.
Berbeda cara menentukan garis politik akan sangat sensitif dalam satu hubungan di dunia gerakan dan kita tau sejarah telah mengkonfirmasinya, lihatlah sebut saja 3 serangkai murid Cokroaminoto : Musso, Sukarno dan Kartosuwiryo, dahulu mereka pernah satu atap belajar bersama, hidup bersama layaknya saudara namun karena perbedaan garis politik, mereka kemudian terlibat pertengkaran yang hebat bahkan hingga sampai saling bunuh. Tapi kita tentu tak berharap perbedaan pandangan KPA dan AGRA jangan sampai manjadi semakin runcing.
Gejala RAPS tidak berdiri sendiri
Apabila kita kaji lebih dalam perihal, literatur reforma agraria, gejala perbedaan sikap politik RAPS sebenarnya bukan sekedar gejala antara KPA dan AGRA, perbedaan sikap politik ini adalah fenomena historis yang melibatkan banyak pihak yaitu, disatu sisi konsep RA oleh negara RI yang notabene adalah negara agraris dan masih melegalkan penguasaan tanah dalam skala monopoli oleh segelintir orang, perusahaan, BUMN, perkebunan dll padahal teriring dengan itupun perampasan tanah (Land Grabing) juga meningkat secara massif. Sementara disisi yang lain mayoritas rakyat negara RI adalah kaum tani yang semakin kesini, luas lahannya semakin sedikit, puluhan juta buruh tani tak bertanah terus menerus menjual tenaga kerjanya tanpa pernah sanggup untuk memenuhi standar hidup yang kian tinggi menjulang. Pada ujungnya hanya ada dua konsep RA, 1) RA versi negara yang membuka kran sebesar-besarnya untuk korporasi dan pengguasaan tanah sebesar-besarnya bagi segelintir orang, 2) RA versi rakyat mayoritas yang menghendaki tidak hanya sekedar distribusi lahan garapan, tapi juga menghendaki pembebasan tenaga produktif, membebaskan sistem sewa tanah yang tinggi, membebaskan peribaan, tengkulakisme dan rantai distribusi yang berkeadilan.
Gejala RAPS bukan hanya tentang sikap KPA maupun sikap AGRA saja, gejala RAPS melibatkan banyak pihak secara struktural, fenomena RAPS tidak berdiri sendiri, RA berkaitan erat dengan pondasi dasar negara agraris, fenomena RAPS kemudian populer ke publik, AGRA menamai RA versi rakyat itu sebagai RA yang sejati dan AGRA mengatakan RA versi negara (RAPS) adalah RA yang palsu, Sementara KPA menamai RAPS adalah bagian integral dari perjuangan panjang menuju reforma agraria.
Data mengenai meningkatnya konflik agraria ditengah gencarnya program RAPS
Tapi mari kita sejenak melupakan konflk sikap politik antara yang pro RAPS dengan yang kontra RAPS, mari bicara data dan fakta. Berkaitan dengan perampasan tanah yang semakin massif dan konflik agraria yang meningkat justru beriring ketika pemerintah gencar mempopulerkan program reforma agraria dan perhutanan sosial, mari kita buka atas data yang dihimpun oleh KPA sendiri, yaitu data dalam catatan akhir tahun 2016 menyebutkan, "Jika di tahun 2015 terjadi 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK. Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus."
Sementara itu dalam rilis akhir tahun 2016 AGRA menyebutkan, "Sepanjang tahun 2016, AGRA juga mencatat setidaknya ada 30 konflik agraria di 12 Provinsi yang mengakibatkan kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan masyarakat yang mempertahankan tanah, baik konflik baru atau konflik lama yang kembali memanas karena tak kunjung selesai."
"Dari 30 kasus tersebut 92 petani korban kekerasan, 39 korban penembakan, 228 orang ditangkap dan 83 dikriminalkan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini, sekitar 200 petani kecil ditangkap dan dikriminalkan dengan tuduhan pembakar lahan di Kalimantan dan Sumatra."
Bukankah tahun 2016 adalah tahun ke dua Jokowi? 2 tahun berjalannya RAPS? katanya RAPS akan menyelasaikan konflik, data yang dirilis KPA dan AGRA menyatakan yang terjadi justru konflik terus meningkat. Sampai disini kita patut bertanya kembali apakah benar RAPS adalah RA yang sejati?
Sedikit gambaran mengenai RA sejati
RA sejati mestinya mampu melakukan beberapa hal, 1) menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani, 2) menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, 3) memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya, 4) menentang monopoli input pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, 5) menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah
Dan yang paling urgen 1) RA mestinya tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah, 2) RA tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata, 3) RA sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan tanahnya terus diambil oleh perusahaan besar monopoli.
Akhir kata, bagaimana sikap kita menandang RAPS, saya kembalikan kepada siapapun yang baca coretan singkat ini, mau menentang RAPS ya monggo atau mau mendukung RAPS ya monggo. Ehh tapi RAPS itu perampasan tanah dalam kedok atas nama reforma agraria, jadi kamu dukung perampasan tanah gitu? ya monggo.. :(
*******
Wonosobo, 1 November 2017
Referensi :
a) Publikasi Konferensi Tenurial 2017
b) Catatan akhir tahun 2016, KPA
c) Catatan akhir tahun 2016, AGRA