Rabu, 25 Oktober 2017

Dagelan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS)


Oleh : Amat

Belum lama ada peristiwa yang cukup menggelikan sebagaimana dilansir antaranews, "Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjuk WWF Indonesia sebagai mitra untuk membentuk sekretariat bersama sebagai Project Management Office (PMO)," kata Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo di Jakarta, Kamis.

Sontak penunjukan WWF sebagai mitra (bahkan pusat koordinasi jalannya RAPS) membuat banyak kalangan kaget, baik yang pro kepada RAPS ataupun yang tidak. Sebelumnya, bagi yang belum mengikuti perkembangan RAPS bisa baca-baca beberapa rilis resmi pemerintah yang berbicara mengenai RAPS, Eko Sulistyo selaku Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden. Menulis satu artikel yang dimuat di Koran Sindo edisi 23 September 2017,

"Makna peringatan hari tani tahun ini jika dikaitkan dengan komitmen Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK. Khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan pengurangan ketimpangan desa dan kota. Legalisasi Aset dan Redistribusi Tanah Secara garis besar komitmen Pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan petani sudah dimandatkan dalam Nawacita."

"Berdasarkan Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset dan Redristribusi Tanah Tahun 2015-2017 dari BPN, sampai saat ini (Agustus 2017), pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat tanah. Dalam tahun 2018, pemerintah meningkatkan target sertifikat yang akan dibagikan kepada masyarakat menjadi 7 juta. Pada tahun 2019, target ditingkatkan menjadi 9 juta sertifikat."

Berdasarkan data pemerintah yang kemudian mendorong lahirnya program RAPS, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan, pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha untuk dijadikan perhutanan sosial. Kebijakan ini untuk memenuhi keadilan untuk 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang 70 persennya menggantungkan hidup dari hutan. Program ini diharapkan membantu serapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan antar wilayah.

Menurut Kementerian Desa, Kementerian Desa telah menetapkan 58 desa sebagai lokasi percontohan seluas 103.076 ha melibatkan 19.412 KK. Percontohan ini terbagi atas hutan desa (100.348 ha, 17.681 KK), hutan kemasyarakatan (871 ha, 331 KK), hutan rakyat (40 ha, 25 KK), hutan adat (899 ha), dan kemitraan (918 ha, 1.375 KK). Percontohan ini meliputi Provinsi Sumatera Barat 10 desa, Riau 7 desa, Kalimantan Barat 11 desa, Sulawesi Tengah 4 desa, Lampung 1 desa, Jawa Timur 6 desa, Jawa Barat 5 desa, Banten 2 desa, Jambi 8 desa, Sulawesi Selatan 1 desa, dan Nusa Tenggara Timur 3 desa.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa reforma agraria harus menjadi “cara baru” bukan saja untuk menyelesaikan sengketa agraria antara perusahaan dengan masyarakat atau masyarakat dengan negara, tapi juga cara baru mengatasi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, khususnya di pedesaan.

Benarkah demikian? agar berimbang mari kita lihat situasi obyektif dilapangan atau kita bisa merujuk ke temuan-temuan data alternatif. Pengamat sosial, Imam B Prasodjo memasang surat terbuka di akun Facebook-nya, Sabtu, 21 Oktober. Surat itu ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Imam protes karena pemerintah, melalui kantor Menko Perekonomian, membentuk sekretariat bersama Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial bersama WWF Indonesia.

"Pada awal dicanangkannya program RAPS ini, saya melihat sendiri banyak aktivis sosial dan kalangan masyarakat antusias mendukung Kebijakan RAPS yang dicanangkan Pak Jokowi ini." tulis imam dalam surat terbukanya.

"Saya selama ini juga bergembira membantu banyak teman di jajaran birokasi sebagai rekan diskusi untuk membahas RAPS ini agar program ini menjadi gerakan "menyejahterakan rakyat" yang benar-benar dilaksanakan secara partisipatif dan didukung masyarakat luas. Para aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang peduli mulai bergerak membantu karena melihat niat baik ini." lanjut imam

"Sayang seribu sayang. Di saat kita tengah susah payah menggalang partisipasi seluruh kelompok masyarakat ini untuk ikut terlibat dalam implementasi program RAPS dan mengawalnya agar program ini tepat sasaran dan tidak dijadikan "proyek bancakan", tiba-tiba muncul kabar adanya kebijakan Menko Perekonomian yang menunjuk WWF Indonesia sebagai PMO sekretariat percepatan program RAPS. Ada apa ini? Ini benar-benar berita mengagetkan dan mencurigakan.Saya khawatir, ini terjadi gara-gara Pak Darmin Nasution (atau jangan-jangan hanya kerjaan Pak Lukita Dinarsyah Tuwo) yang kurang faham betapa sensitifnya masalah ini. Yang benar saja, masak WWF Indonesia (sebuah NGO yang berafiliasi atau "menjadi bagian" dari "jaringan global WWF") berperan menggantikan peran negara dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Lagi pula, mau ditaruh di mana peran serta masyarakat yang selama ini sudah susah payah mendukung dan menyumbangkan tenaga dan pikiran karena ingin memberikan sumbangsih pada negeri sendiri? Apakah pemerintah atau bahkan bangsa ini rela kalau urusan semacam ini dialihkan peranan utamanya ke lembaga yang berafiliasi dengan lembaga internasional yang notabene belum punya reputasi mengurus masalah seperti ini? (Saya sendiri tak yakin seluruh pengurus inti WWF Indonesia dan internasional setuju dengan peran yang sedang dijalankan ini. Saya menduga ini kerjaan oknum pimpinan WWF Indonesia yang tak paham masalah sensitif ini)." Begitulah kekecewaan Imam atas dagelan RAPS Jokowi

Hal senada kurang lebih hampir sama (berupa kekecewaan kepada RAPS) pun disampaikan oleh Iwan Nurdin (Mantan Sekjend KPA, Konsorsium Pembaharuan Agraria) pada tulisan yang ditulis di akun facebooknya hari ini (24 Oktober 2017). Iwan menuliskan,

" WWF sebagai lembaga konservasi hutan dan satwa langka, bisa dikatakan tidak mempunyai pengalaman dalam perkara reforma agraria dan perhutanan sosial. Padahal, sebagai agenda bangsa, pelaksanaan program ini membutuhkan ketepatan antara wilayah dan kelompok sosial (masyarakat) penerima manfaat dari proses pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial tersebut. Tanpa pemahaman medan wilayah dan medan sosial-politik yang cukup mustahil WWF bisa menjadi lokomotif program ini pada arah yang tepat."

"Selain itu, agenda reforma agraria adalah prioritas nasional yang dipercayakan kepada Kemenko Perekonomian karena cakupan pekerjaannya yang lintas kementerian lembaga. Menunjuk organisasi non pemerintah (ornop) sebagai pusat koordinasi bersama tentu mengherankan. Sebab tidak ada nomenklatur yang bisa memposisikan sebuah organisasi ornop bisa mengkoordinasikan lembaga pemerintah.
Karena itu, desakan agar pemerintah segera mencabut naskah kesepakatan tersebut sesungguhnya adalah cara untuk menyelamatkan reforma agraria dan perhutanan sosial yang oleh presiden Jokowi disebut sebagai prioritas yang harus dikerjakan dengan cepat dan tepat."



Lalu apa sebenarnya esensi dari RAPS?

Jauh sebelum munculnya dagelan perihal penunjukan WWF, AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) telah sejak lama mengambil sikap menolak program RAPS Jokowi, sikap ini ditegaskan kembali dalam satu rilis pada 27 September 2017 [1]

"AGRA menyadari peringatan HTN juga dilakukan oleh berbagai organisai lain dan salah satunya adalah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). KNPA adalah aliansi berbagai organiasi petani, NGO dan AGRA merupakan salah satu anggota KNPA sampai saat ini. Namun demikian dalam peringatan HTN tahun 2017, AGRA menyelenggarakan aksi dan kampanye secara mandiri dan TIDAK BERGABUNG dalam aksi KNPA yang di lakukan pada 27 September 2017."

Rahmat, Ketua PP-AGRA menyampaikan, “sikap dan tuntutan KNPA berbeda dengan AGRA, khususnya terkait Program Reforma Agraria Pemerintah Joko widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). AGRA secara tegas menolak Program Reforma Agraria Jokowi dan menuntut program ini dihentikan. Sehingga, sikap AGRA pada dasarnya tidak akan mendorong ataupun memperkuat rencana dan implementasi skema Reforma Agraria pemerintah Jokowi karena ini bukanlah Reforma Agraria sejati sebagaimana aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia.”

RA sejati mestinya mampu melakukan beberapa hal, 1) menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani, 2) menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, 3) memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya, 4) menentang monopoli input pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, 5) menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah

Yang paling urgen 1) RA mestinya tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah, 2) RA tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata, 3) RA sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan tanahnya terus diambil oleh perusahaan besar monopoli.

Jadi mari kita kaji dan tinjau ulang RAPS Jokowi, bagaimana konsep, implementasi serta kritik atasnya itu akan jadi diskursus yang panjang. Bagaimana sikap kita dalam menilai RAPS, saya kembalikan kepada masing-masing orang yang membaca coretan singkat ini.


*********

Wonosobo, 24 Oktober 2017


[1] Lebih lengkap mengenai rilis 27 September 2017, silahkan bisa buka tautan ini : http://agraindonesia.org/agra-tidak-bergabung-aksi-knpa-dalam-peringatan-htn-pada-27-september-2017/

Foto : Poster publikasi diskusi publik petani hutan jawa timur (22 Oktober 2017) pemateri diisi oleh Putut Prabowo (Koordinator AGRA Jatim) dan Gus Fayyadl (Komite Nasional FNKSDA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar