Sabtu, 28 Oktober 2017

Solidaritas Buruh Pelabuhan Di Australia Kepada Kemerdekaan Indonesia (sekaligus review film "Indonesia Calling")

Judul film : Indonesia Calling (1946)
Sutradara : Joris Ivens (Belanda)
Penulis skrip : Joris Ivens (script), Catherine Duncan (commentary)
Narasi : Peter Finch
Cinematography : Marion Michelle
Produksi : Waterside Workers' Federation (Gabungan Serikat Buruh Australia)
Durasi : 22 Menit
Type/Genre : Hitam putih/Dokumenter
Bahasa : Inggris


Berikut sedikit corat coret mengenai suatu film dokumenter, film dokumenter penting, yang berbicara mengenai peristiwa penting. Seperti kita ketahui bersama, sejarah mencatat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945 sementara dilain pihak Belanda enggan "Move-On", Belanda tiada rela kalau zambrud khatulistiwa ini merdeka, pecahnya perang kolonial (Agresi Militer I dan II) adalah termasuk bagian dari representasi tiada relanya negri belanda melepas Indonesia, segala cara dilakukan apapun caranya bagi Belanda, Indonesia tidak boleh merdeka. Sementara itu bagi rakyat Indonesia, bagaimanapun caranya Indonesia harus merdeka. Termasuk rakyat Indonesia di luar negeri termasuk di Australia.

Supeno dalam buku "Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Untuk Pembebasan" (1982) pada BAB 10 "Revolusi Agustus Mendapat Simpati Luas" menceritakan mengenai pemogokan buruh pelabuhan di Australia, pada saat terjadi peristiwa proklamasi kemerdekaan, banyak buruh-buruh Indonesia yang tinggal di Australia, mayoritas mereka adalah buruh pelabuhan, buruh-buruh Indonesia yang berada di pelabuhan pada waktu itu mereka kebanyakan adalah bekas tahanan politik boven digul, pasca meledaknya pemberontakan 1926-1927 banyak aktivis yang eksekusi dengan dihukum gantung, tak sedikit pula yang dibuang dipulau buru (Papua Barat), ketika Jepang menyerbu wilayah Indonesia, Belanda melarikan kaum Digulis itu ke Australia karena takut mereka akan jatuh di tangan Jepang dan digunakan untuk melawannya. Jumlah yang diungsikan itu 295 orang yang bestatus buangan politik disertai oleh 212 jiwa anggota keluarga. Jadi seluruhnya 507 jiwa. Di antara mereka itu termasuk Sardjono, yang ikut memimpin dalam Kongres Nasional ke-III di Kotagede (Yogyakarta) bulan Desember tahun 1924.

Pada pertengahan tahun 1943 kapal “Both” yang mengangkut mereka dengan secara rahasia membuang sauh di salah satu pelabuhan di pantai timur Australia. Dengan secara diam-diam pula mereka didaratkan untuk seterusnya diangkut ke kamp konsentrasi yang sudah disiapkan oleh Belanda dengan bantuan pemerintah Australia. Pemerintah Belanda memang tidak bermaksud membebaskan mereka. Sekalipun sangat dirahasiakan, usaha gelap itu diketahui juga oleh kaum buruh Australia.

Di berbagai kota lalu diselenggarakan demonstrasi menuntut dibebaskannya kaum Digulis yang oleh kaum buruh Australia dianggap patriot-patriot sejati. Aksi tersebut berhasil. Mereka yang semula hendak terus ditahan terpaksa dibebaskan.

Waktu mendengar proklamasi kemerdekaan kaum buruh Indoneaia di Australia segera menyambutnya. Mereka mengadakan propaganda untuk mendapat dukungan rakyat Australia bagi Indonesia Merdeka. Di berbagai kota seperti Sydney dan Brisbane berhasil diririkan Australia-Indonesia Association yang membantu memperluas propaganda untuk Indonesia dan mengumpulkan dana untuk rakyat Indonesia.
Terutama di kalangan kaum buruh Australia propaganda tersebut mendapat sambutan hangat. Sesuai dengan tradisi revolusioner gerakan buruh internasional Australian Seamen’s Union (Persatuan Pelaut Australia) dan Australian Waterside Workers Union (Persatuan Kaum Buruh Pelabuhan Australia) melancarkan aksi pemboikotan terhadap kapal Belanda yang memuat barang, terutama alat perang untuk mengahncurkan republik yang baru saja lahir itu.



Gerakan tersebut yang dimulai di pelabuhan pantai timur meluas ke pelabuhan di pantai selatan dan barat Australia. Banyak kapal Belanda terhambat di dermaga dan tidak ada seorangpun yang mau mengulurkan tangan bantuan. Ketika di seluruh dunia disiarkan berita pertempuran di Jakarta, Semarang, Magelang, Surabaya, Bandung dll. Dan bahwa Belanda membonceng tentara Inggris, pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda semakin diperluas. Tidak hanya kapal Belanda yang hendak ke Indonesia yang dikenakan aksi, tetapi semua kapal Belanda menjadi sasaran. “Ban all Dutch Ship” (Boikot Semua Kapal Belanda) adalah slogan besar yang terpampang di setiap pelabuhan dan kota Australia. Dan kaum buruh Australia tidak membiarkan slogan itu slogan kosong belaka.

Aksi tidak hanya dijalankan oleh kaum buruh pelabuhan, tetapi juga oleh anak kapal-kapal Belanda itu sendiri. Anak buah kapal Karsik yang memuat uang dan emas Belanda dari jurusan Melbourne meletakkan pekerjaan begitu kapal tersebut memasuki pelabuhan Sydney. Di Brisbane timbul pemogokan dalam kapal Both (yang pernah digunakan mengangkut kaum buangan dari Digul), kapal Jansen dan Kun Hwa. Di atas kapal Van Heutz orang-orang Indonesia yang pernah masuk KNIL menolak diberangkatkan ketika mereka hendak dipersenjatai kembali. Ketika anak kapal Generaal van Spijck melancarkan pemogokan fihak Belanda mendatangkan kaum buruh berkebangsaan India untuk menggantikan mengangkut kapal. Tetapi begitu melihat kawan-kawan senasib dari Indonesia mereka segera menarik diri.



Hari itu, lebih dari 70 ribu warga akan mendukung kemerdekan Republik baru Indonesia. Di pelabuhan-pelabuhan Australia, para rakyat Indonesia mengumandangkan aksinya. Tidak akan ada perlayaran menuju Indonesia selama tidak ada jaminan bahwa kapal itu tidak berisikan senjata, atau apapun yang digunakan untuk menyerang Indonesia. Tidak mudah untuk berjuang di negeri orang lain, tapi mereka melakukannya.
Di pelabuhan-pelabuhan terdapat pertemuan-pertemuan kecil, di sana buruh Australia berbicara :

“Indonesia sedang bergerak, kita harus membantu mereka!.. kongres buruh dunia mendukung kemerdekaan setiap bangsa, kenapa Indonesia tidak?”



Dukungan itu adalah ‘dukungan untuk kebebasan setiap bangsa menentukan diri sendiri’ demikian mereka mengingatkan prinsip Atlantic Charter (Piagam Atlantik). Ungkapan itu menggelora di hati para buruh, maka nyatalah dukungan itu sangat penting untuk nasib republik baru Indonesia. Serikat buruh di Australia menolak untuk mengangkut senjata Belanda ke Indonesia :

“kami tidak akan berlayar sebelum ada jaminan, bahwa kapal tidak mengangkut amunisi dan senjata untuk menyerang Indonesia.”

Suatu kali buruh pelabuhan mendeteksi kapal yang membawa angkutan senjata. Senjata itu tersimpan dalam kotak berlabel Logistik dan Obat-obatan. Belanda menyangkal hal itu, tapi ia tidak dapat menyangkal Perdana Mentri Australia. Kapal-kapal belanda dan kapal yang melakukan kecurangan, oleh para buruh diberi label “ Black Ban ”. Aksi itu memancing solidaritas seluruh dalam jumlah yang semakin besar. Sekitar 500 kapal berhenti berlayar.



Diawali buruh transportasi pengangkut Kargo-kargo kapal, buruh cat, buruh mekanik, semua menolak bekerja untuk Belanda. Pengawas pelayanan menolak perusahaan belanda, tukang pipa, pekerja batu bara kapal, instalator listrik, pengepak, dan perusahan lainnya menolak untuk bekerja. Diawali serikat nelayan Australia, kemudian pekerja kapal Inggris, Cina, India, Malaysia, Selandia Baru, dan Kanada. Buruh dunia mendukung aksi itu.

Pawai-pawai yang mengkampanyekan kemerdekaan itu pun muncul di kota. Dengan arak-arakan yang dilakukan warga membawa foto presiden Sukarno, bendera Australia, Indonesia, spanduk-spanduk: “Freedom For Pacific Peoples!”
Dukungan kemudian juga berdatangan dari para pemimpin-pemimpin dunia, dari India, Uni Soviet, Filipina, dan dukungan juga dari Cina, bahkan rakyat Cina telah berhasil menggalang 1100 Pound untuk perjuangan Indonesia.

Aksi kaum buruh Australia tidak terbatas pada aksi-aksi tersebut. Di kota Brisbane sopir taksi menolak mengangkut orang Belanda. Juga kondektur tidak menerima penumpang Belanda. Satu peristiwa yang istimewa yalah, bahwa di kota Brisbane beberapa rumah makan Tionghwa menyediakan makan cuma-cuma bagi kaum buruh Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Bentuk aksi pemogokan kaum buruh pelabuhan tersebut diabadikan oleh seorang cineast Belanda Joris Ivens yang membuat film dengan judul Indonesia Calling (Indonesia Memanggil). Segala biaya untuk pembuatan film dokumenter tersebut disediakan oleh Gabungan Serikat Buruh Australia. Joris Ivens adalah seorang cineast yang terkenal dengan karya-karyanya antara lain tentang perang dalam negeri Spanyol 1936-1939 dan perang Tiongkok-Jepang.



Film Indonesia Calling mendapat sambutan hangat ketika diputar di kota-kota Australia. Pemerintah Australia sendiri yang bersahabat dengan Belanda tidak memberikan izin export film tersebut. Tetapi sekalipun demikian kaum buruh Australia berhasil menyelundupkannya ke Indonesia. Di sini hasil karya Joris Ivens disambut dengan mesra.

Film ini memberi pelajaran berharga bahwa kekuatan solidaritas mampu mengalahkan kekuatan militer. Waktu itu, solidaritas buruh pelabuhan di Australia, yang melibatkan buruh Indonesia, India, Cina, dan berbagai negara lainnya, berhasil membatalkan keberangatan kekuatan besar (kapal-kapal yang berisi tentara dan senjata milik Belanda) yang hedak merebut kembali Indonesia ketika mendengar Jepang kalah.


Indonesia Calling dapat di tonton di youtube pada URL berikut :



https://m.youtube.com/watch?v=kOANnt5KF4Q

*****

1 komentar:

  1. CasinoBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonus100.000
    BonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonusBonus100.000 · Barcrest Casino Online · SportsBetting bet surface area · BetMGM Casino 버 슬롯 Online · BetMGM Casino 메리트 Online xbet · SportsBetting.ag Casino Promo 토토꽁머니 Code

    BalasHapus