Sabtu, 28 Oktober 2017

Solidaritas Buruh Pelabuhan Di Australia Kepada Kemerdekaan Indonesia (sekaligus review film "Indonesia Calling")

Judul film : Indonesia Calling (1946)
Sutradara : Joris Ivens (Belanda)
Penulis skrip : Joris Ivens (script), Catherine Duncan (commentary)
Narasi : Peter Finch
Cinematography : Marion Michelle
Produksi : Waterside Workers' Federation (Gabungan Serikat Buruh Australia)
Durasi : 22 Menit
Type/Genre : Hitam putih/Dokumenter
Bahasa : Inggris


Berikut sedikit corat coret mengenai suatu film dokumenter, film dokumenter penting, yang berbicara mengenai peristiwa penting. Seperti kita ketahui bersama, sejarah mencatat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945 sementara dilain pihak Belanda enggan "Move-On", Belanda tiada rela kalau zambrud khatulistiwa ini merdeka, pecahnya perang kolonial (Agresi Militer I dan II) adalah termasuk bagian dari representasi tiada relanya negri belanda melepas Indonesia, segala cara dilakukan apapun caranya bagi Belanda, Indonesia tidak boleh merdeka. Sementara itu bagi rakyat Indonesia, bagaimanapun caranya Indonesia harus merdeka. Termasuk rakyat Indonesia di luar negeri termasuk di Australia.

Supeno dalam buku "Sejarah Singkat Gerakan Rakyat Untuk Pembebasan" (1982) pada BAB 10 "Revolusi Agustus Mendapat Simpati Luas" menceritakan mengenai pemogokan buruh pelabuhan di Australia, pada saat terjadi peristiwa proklamasi kemerdekaan, banyak buruh-buruh Indonesia yang tinggal di Australia, mayoritas mereka adalah buruh pelabuhan, buruh-buruh Indonesia yang berada di pelabuhan pada waktu itu mereka kebanyakan adalah bekas tahanan politik boven digul, pasca meledaknya pemberontakan 1926-1927 banyak aktivis yang eksekusi dengan dihukum gantung, tak sedikit pula yang dibuang dipulau buru (Papua Barat), ketika Jepang menyerbu wilayah Indonesia, Belanda melarikan kaum Digulis itu ke Australia karena takut mereka akan jatuh di tangan Jepang dan digunakan untuk melawannya. Jumlah yang diungsikan itu 295 orang yang bestatus buangan politik disertai oleh 212 jiwa anggota keluarga. Jadi seluruhnya 507 jiwa. Di antara mereka itu termasuk Sardjono, yang ikut memimpin dalam Kongres Nasional ke-III di Kotagede (Yogyakarta) bulan Desember tahun 1924.

Pada pertengahan tahun 1943 kapal “Both” yang mengangkut mereka dengan secara rahasia membuang sauh di salah satu pelabuhan di pantai timur Australia. Dengan secara diam-diam pula mereka didaratkan untuk seterusnya diangkut ke kamp konsentrasi yang sudah disiapkan oleh Belanda dengan bantuan pemerintah Australia. Pemerintah Belanda memang tidak bermaksud membebaskan mereka. Sekalipun sangat dirahasiakan, usaha gelap itu diketahui juga oleh kaum buruh Australia.

Di berbagai kota lalu diselenggarakan demonstrasi menuntut dibebaskannya kaum Digulis yang oleh kaum buruh Australia dianggap patriot-patriot sejati. Aksi tersebut berhasil. Mereka yang semula hendak terus ditahan terpaksa dibebaskan.

Waktu mendengar proklamasi kemerdekaan kaum buruh Indoneaia di Australia segera menyambutnya. Mereka mengadakan propaganda untuk mendapat dukungan rakyat Australia bagi Indonesia Merdeka. Di berbagai kota seperti Sydney dan Brisbane berhasil diririkan Australia-Indonesia Association yang membantu memperluas propaganda untuk Indonesia dan mengumpulkan dana untuk rakyat Indonesia.
Terutama di kalangan kaum buruh Australia propaganda tersebut mendapat sambutan hangat. Sesuai dengan tradisi revolusioner gerakan buruh internasional Australian Seamen’s Union (Persatuan Pelaut Australia) dan Australian Waterside Workers Union (Persatuan Kaum Buruh Pelabuhan Australia) melancarkan aksi pemboikotan terhadap kapal Belanda yang memuat barang, terutama alat perang untuk mengahncurkan republik yang baru saja lahir itu.



Gerakan tersebut yang dimulai di pelabuhan pantai timur meluas ke pelabuhan di pantai selatan dan barat Australia. Banyak kapal Belanda terhambat di dermaga dan tidak ada seorangpun yang mau mengulurkan tangan bantuan. Ketika di seluruh dunia disiarkan berita pertempuran di Jakarta, Semarang, Magelang, Surabaya, Bandung dll. Dan bahwa Belanda membonceng tentara Inggris, pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda semakin diperluas. Tidak hanya kapal Belanda yang hendak ke Indonesia yang dikenakan aksi, tetapi semua kapal Belanda menjadi sasaran. “Ban all Dutch Ship” (Boikot Semua Kapal Belanda) adalah slogan besar yang terpampang di setiap pelabuhan dan kota Australia. Dan kaum buruh Australia tidak membiarkan slogan itu slogan kosong belaka.

Aksi tidak hanya dijalankan oleh kaum buruh pelabuhan, tetapi juga oleh anak kapal-kapal Belanda itu sendiri. Anak buah kapal Karsik yang memuat uang dan emas Belanda dari jurusan Melbourne meletakkan pekerjaan begitu kapal tersebut memasuki pelabuhan Sydney. Di Brisbane timbul pemogokan dalam kapal Both (yang pernah digunakan mengangkut kaum buangan dari Digul), kapal Jansen dan Kun Hwa. Di atas kapal Van Heutz orang-orang Indonesia yang pernah masuk KNIL menolak diberangkatkan ketika mereka hendak dipersenjatai kembali. Ketika anak kapal Generaal van Spijck melancarkan pemogokan fihak Belanda mendatangkan kaum buruh berkebangsaan India untuk menggantikan mengangkut kapal. Tetapi begitu melihat kawan-kawan senasib dari Indonesia mereka segera menarik diri.



Hari itu, lebih dari 70 ribu warga akan mendukung kemerdekan Republik baru Indonesia. Di pelabuhan-pelabuhan Australia, para rakyat Indonesia mengumandangkan aksinya. Tidak akan ada perlayaran menuju Indonesia selama tidak ada jaminan bahwa kapal itu tidak berisikan senjata, atau apapun yang digunakan untuk menyerang Indonesia. Tidak mudah untuk berjuang di negeri orang lain, tapi mereka melakukannya.
Di pelabuhan-pelabuhan terdapat pertemuan-pertemuan kecil, di sana buruh Australia berbicara :

“Indonesia sedang bergerak, kita harus membantu mereka!.. kongres buruh dunia mendukung kemerdekaan setiap bangsa, kenapa Indonesia tidak?”



Dukungan itu adalah ‘dukungan untuk kebebasan setiap bangsa menentukan diri sendiri’ demikian mereka mengingatkan prinsip Atlantic Charter (Piagam Atlantik). Ungkapan itu menggelora di hati para buruh, maka nyatalah dukungan itu sangat penting untuk nasib republik baru Indonesia. Serikat buruh di Australia menolak untuk mengangkut senjata Belanda ke Indonesia :

“kami tidak akan berlayar sebelum ada jaminan, bahwa kapal tidak mengangkut amunisi dan senjata untuk menyerang Indonesia.”

Suatu kali buruh pelabuhan mendeteksi kapal yang membawa angkutan senjata. Senjata itu tersimpan dalam kotak berlabel Logistik dan Obat-obatan. Belanda menyangkal hal itu, tapi ia tidak dapat menyangkal Perdana Mentri Australia. Kapal-kapal belanda dan kapal yang melakukan kecurangan, oleh para buruh diberi label “ Black Ban ”. Aksi itu memancing solidaritas seluruh dalam jumlah yang semakin besar. Sekitar 500 kapal berhenti berlayar.



Diawali buruh transportasi pengangkut Kargo-kargo kapal, buruh cat, buruh mekanik, semua menolak bekerja untuk Belanda. Pengawas pelayanan menolak perusahaan belanda, tukang pipa, pekerja batu bara kapal, instalator listrik, pengepak, dan perusahan lainnya menolak untuk bekerja. Diawali serikat nelayan Australia, kemudian pekerja kapal Inggris, Cina, India, Malaysia, Selandia Baru, dan Kanada. Buruh dunia mendukung aksi itu.

Pawai-pawai yang mengkampanyekan kemerdekaan itu pun muncul di kota. Dengan arak-arakan yang dilakukan warga membawa foto presiden Sukarno, bendera Australia, Indonesia, spanduk-spanduk: “Freedom For Pacific Peoples!”
Dukungan kemudian juga berdatangan dari para pemimpin-pemimpin dunia, dari India, Uni Soviet, Filipina, dan dukungan juga dari Cina, bahkan rakyat Cina telah berhasil menggalang 1100 Pound untuk perjuangan Indonesia.

Aksi kaum buruh Australia tidak terbatas pada aksi-aksi tersebut. Di kota Brisbane sopir taksi menolak mengangkut orang Belanda. Juga kondektur tidak menerima penumpang Belanda. Satu peristiwa yang istimewa yalah, bahwa di kota Brisbane beberapa rumah makan Tionghwa menyediakan makan cuma-cuma bagi kaum buruh Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Bentuk aksi pemogokan kaum buruh pelabuhan tersebut diabadikan oleh seorang cineast Belanda Joris Ivens yang membuat film dengan judul Indonesia Calling (Indonesia Memanggil). Segala biaya untuk pembuatan film dokumenter tersebut disediakan oleh Gabungan Serikat Buruh Australia. Joris Ivens adalah seorang cineast yang terkenal dengan karya-karyanya antara lain tentang perang dalam negeri Spanyol 1936-1939 dan perang Tiongkok-Jepang.



Film Indonesia Calling mendapat sambutan hangat ketika diputar di kota-kota Australia. Pemerintah Australia sendiri yang bersahabat dengan Belanda tidak memberikan izin export film tersebut. Tetapi sekalipun demikian kaum buruh Australia berhasil menyelundupkannya ke Indonesia. Di sini hasil karya Joris Ivens disambut dengan mesra.

Film ini memberi pelajaran berharga bahwa kekuatan solidaritas mampu mengalahkan kekuatan militer. Waktu itu, solidaritas buruh pelabuhan di Australia, yang melibatkan buruh Indonesia, India, Cina, dan berbagai negara lainnya, berhasil membatalkan keberangatan kekuatan besar (kapal-kapal yang berisi tentara dan senjata milik Belanda) yang hedak merebut kembali Indonesia ketika mendengar Jepang kalah.


Indonesia Calling dapat di tonton di youtube pada URL berikut :



https://m.youtube.com/watch?v=kOANnt5KF4Q

*****

Rabu, 25 Oktober 2017

Dagelan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS)


Oleh : Amat

Belum lama ada peristiwa yang cukup menggelikan sebagaimana dilansir antaranews, "Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjuk WWF Indonesia sebagai mitra untuk membentuk sekretariat bersama sebagai Project Management Office (PMO)," kata Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo di Jakarta, Kamis.

Sontak penunjukan WWF sebagai mitra (bahkan pusat koordinasi jalannya RAPS) membuat banyak kalangan kaget, baik yang pro kepada RAPS ataupun yang tidak. Sebelumnya, bagi yang belum mengikuti perkembangan RAPS bisa baca-baca beberapa rilis resmi pemerintah yang berbicara mengenai RAPS, Eko Sulistyo selaku Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden. Menulis satu artikel yang dimuat di Koran Sindo edisi 23 September 2017,

"Makna peringatan hari tani tahun ini jika dikaitkan dengan komitmen Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK. Khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, pemberdayaan masyarakat adat dan pengurangan ketimpangan desa dan kota. Legalisasi Aset dan Redistribusi Tanah Secara garis besar komitmen Pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan petani sudah dimandatkan dalam Nawacita."

"Berdasarkan Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset dan Redristribusi Tanah Tahun 2015-2017 dari BPN, sampai saat ini (Agustus 2017), pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat tanah. Dalam tahun 2018, pemerintah meningkatkan target sertifikat yang akan dibagikan kepada masyarakat menjadi 7 juta. Pada tahun 2019, target ditingkatkan menjadi 9 juta sertifikat."

Berdasarkan data pemerintah yang kemudian mendorong lahirnya program RAPS, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan, pemerintah pada periode 2015-2019 mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta ha untuk dijadikan perhutanan sosial. Kebijakan ini untuk memenuhi keadilan untuk 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang 70 persennya menggantungkan hidup dari hutan. Program ini diharapkan membantu serapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan antar wilayah.

Menurut Kementerian Desa, Kementerian Desa telah menetapkan 58 desa sebagai lokasi percontohan seluas 103.076 ha melibatkan 19.412 KK. Percontohan ini terbagi atas hutan desa (100.348 ha, 17.681 KK), hutan kemasyarakatan (871 ha, 331 KK), hutan rakyat (40 ha, 25 KK), hutan adat (899 ha), dan kemitraan (918 ha, 1.375 KK). Percontohan ini meliputi Provinsi Sumatera Barat 10 desa, Riau 7 desa, Kalimantan Barat 11 desa, Sulawesi Tengah 4 desa, Lampung 1 desa, Jawa Timur 6 desa, Jawa Barat 5 desa, Banten 2 desa, Jambi 8 desa, Sulawesi Selatan 1 desa, dan Nusa Tenggara Timur 3 desa.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa reforma agraria harus menjadi “cara baru” bukan saja untuk menyelesaikan sengketa agraria antara perusahaan dengan masyarakat atau masyarakat dengan negara, tapi juga cara baru mengatasi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, khususnya di pedesaan.

Benarkah demikian? agar berimbang mari kita lihat situasi obyektif dilapangan atau kita bisa merujuk ke temuan-temuan data alternatif. Pengamat sosial, Imam B Prasodjo memasang surat terbuka di akun Facebook-nya, Sabtu, 21 Oktober. Surat itu ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Imam protes karena pemerintah, melalui kantor Menko Perekonomian, membentuk sekretariat bersama Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial bersama WWF Indonesia.

"Pada awal dicanangkannya program RAPS ini, saya melihat sendiri banyak aktivis sosial dan kalangan masyarakat antusias mendukung Kebijakan RAPS yang dicanangkan Pak Jokowi ini." tulis imam dalam surat terbukanya.

"Saya selama ini juga bergembira membantu banyak teman di jajaran birokasi sebagai rekan diskusi untuk membahas RAPS ini agar program ini menjadi gerakan "menyejahterakan rakyat" yang benar-benar dilaksanakan secara partisipatif dan didukung masyarakat luas. Para aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang peduli mulai bergerak membantu karena melihat niat baik ini." lanjut imam

"Sayang seribu sayang. Di saat kita tengah susah payah menggalang partisipasi seluruh kelompok masyarakat ini untuk ikut terlibat dalam implementasi program RAPS dan mengawalnya agar program ini tepat sasaran dan tidak dijadikan "proyek bancakan", tiba-tiba muncul kabar adanya kebijakan Menko Perekonomian yang menunjuk WWF Indonesia sebagai PMO sekretariat percepatan program RAPS. Ada apa ini? Ini benar-benar berita mengagetkan dan mencurigakan.Saya khawatir, ini terjadi gara-gara Pak Darmin Nasution (atau jangan-jangan hanya kerjaan Pak Lukita Dinarsyah Tuwo) yang kurang faham betapa sensitifnya masalah ini. Yang benar saja, masak WWF Indonesia (sebuah NGO yang berafiliasi atau "menjadi bagian" dari "jaringan global WWF") berperan menggantikan peran negara dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Lagi pula, mau ditaruh di mana peran serta masyarakat yang selama ini sudah susah payah mendukung dan menyumbangkan tenaga dan pikiran karena ingin memberikan sumbangsih pada negeri sendiri? Apakah pemerintah atau bahkan bangsa ini rela kalau urusan semacam ini dialihkan peranan utamanya ke lembaga yang berafiliasi dengan lembaga internasional yang notabene belum punya reputasi mengurus masalah seperti ini? (Saya sendiri tak yakin seluruh pengurus inti WWF Indonesia dan internasional setuju dengan peran yang sedang dijalankan ini. Saya menduga ini kerjaan oknum pimpinan WWF Indonesia yang tak paham masalah sensitif ini)." Begitulah kekecewaan Imam atas dagelan RAPS Jokowi

Hal senada kurang lebih hampir sama (berupa kekecewaan kepada RAPS) pun disampaikan oleh Iwan Nurdin (Mantan Sekjend KPA, Konsorsium Pembaharuan Agraria) pada tulisan yang ditulis di akun facebooknya hari ini (24 Oktober 2017). Iwan menuliskan,

" WWF sebagai lembaga konservasi hutan dan satwa langka, bisa dikatakan tidak mempunyai pengalaman dalam perkara reforma agraria dan perhutanan sosial. Padahal, sebagai agenda bangsa, pelaksanaan program ini membutuhkan ketepatan antara wilayah dan kelompok sosial (masyarakat) penerima manfaat dari proses pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial tersebut. Tanpa pemahaman medan wilayah dan medan sosial-politik yang cukup mustahil WWF bisa menjadi lokomotif program ini pada arah yang tepat."

"Selain itu, agenda reforma agraria adalah prioritas nasional yang dipercayakan kepada Kemenko Perekonomian karena cakupan pekerjaannya yang lintas kementerian lembaga. Menunjuk organisasi non pemerintah (ornop) sebagai pusat koordinasi bersama tentu mengherankan. Sebab tidak ada nomenklatur yang bisa memposisikan sebuah organisasi ornop bisa mengkoordinasikan lembaga pemerintah.
Karena itu, desakan agar pemerintah segera mencabut naskah kesepakatan tersebut sesungguhnya adalah cara untuk menyelamatkan reforma agraria dan perhutanan sosial yang oleh presiden Jokowi disebut sebagai prioritas yang harus dikerjakan dengan cepat dan tepat."



Lalu apa sebenarnya esensi dari RAPS?

Jauh sebelum munculnya dagelan perihal penunjukan WWF, AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) telah sejak lama mengambil sikap menolak program RAPS Jokowi, sikap ini ditegaskan kembali dalam satu rilis pada 27 September 2017 [1]

"AGRA menyadari peringatan HTN juga dilakukan oleh berbagai organisai lain dan salah satunya adalah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). KNPA adalah aliansi berbagai organiasi petani, NGO dan AGRA merupakan salah satu anggota KNPA sampai saat ini. Namun demikian dalam peringatan HTN tahun 2017, AGRA menyelenggarakan aksi dan kampanye secara mandiri dan TIDAK BERGABUNG dalam aksi KNPA yang di lakukan pada 27 September 2017."

Rahmat, Ketua PP-AGRA menyampaikan, “sikap dan tuntutan KNPA berbeda dengan AGRA, khususnya terkait Program Reforma Agraria Pemerintah Joko widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). AGRA secara tegas menolak Program Reforma Agraria Jokowi dan menuntut program ini dihentikan. Sehingga, sikap AGRA pada dasarnya tidak akan mendorong ataupun memperkuat rencana dan implementasi skema Reforma Agraria pemerintah Jokowi karena ini bukanlah Reforma Agraria sejati sebagaimana aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia.”

RA sejati mestinya mampu melakukan beberapa hal, 1) menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani, 2) menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, 3) memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya, 4) menentang monopoli input pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, 5) menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah

Yang paling urgen 1) RA mestinya tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah, 2) RA tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata, 3) RA sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan tanahnya terus diambil oleh perusahaan besar monopoli.

Jadi mari kita kaji dan tinjau ulang RAPS Jokowi, bagaimana konsep, implementasi serta kritik atasnya itu akan jadi diskursus yang panjang. Bagaimana sikap kita dalam menilai RAPS, saya kembalikan kepada masing-masing orang yang membaca coretan singkat ini.


*********

Wonosobo, 24 Oktober 2017


[1] Lebih lengkap mengenai rilis 27 September 2017, silahkan bisa buka tautan ini : http://agraindonesia.org/agra-tidak-bergabung-aksi-knpa-dalam-peringatan-htn-pada-27-september-2017/

Foto : Poster publikasi diskusi publik petani hutan jawa timur (22 Oktober 2017) pemateri diisi oleh Putut Prabowo (Koordinator AGRA Jatim) dan Gus Fayyadl (Komite Nasional FNKSDA)

Senin, 02 Oktober 2017

Dia Yang Fasis Berwajah Lugu, Menghantam Rakyat Dengan Serdadu (Catatan Mengenai Pelanggaran HAM Dan Konflik Agraria Di Indonesia Pada Periode 2015-2016)

Oleh : Amat


Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakanJokowi-JK gagal menyelesaikan kasus HAM masa lalu dalam dua tahun sehingga menjadi tantangan.

“Ini tidak mudah. Jokowi mengandalkan dan bergantung pada elit politik dari kalangan militer. Beberapa posisi menteri diduduki petinggi militer. Sementara, pelanggaran HAM banyak dilakukan mereka,” ujarnya.

Hal senada disampaikan pakar politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Tobias Basuki.

“Ini akan jadi dilema jangka panjang antara penyelesaian kasus HAM atau konsolidasi politik,” ujarnya kepada salah satu portal media.

Setara Institute menyebutkan, dalam dua tahun pemerintah Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 45 kasus kekerasan yang bisa dikategori sebagai pelanggaran HAM di Papua. Jenis pelanggaran itu seperti penangkapan 2.293 warga Papua, pembunuhan 13 orang, dan penembakan 61 masyarakat Papua.

Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat dalam dua tahun rezim ini terdapat pembiaran 300 kasus kekerasan atas ekspresi kebebasan fundamental yang seharusnya dilindungi konstitusi.

Pemerintahan Jokowi juga telah mengeksekusi mati 18 orang terpidana dan menolak 64 grasi yang diajukan mereka. Lebih parahnya lagi, menurut data KontraS, terdapat 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan di Indonesia.

Konflik Agraria

"Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim di dunia," ujar Hafid (komnas Ham)

Sebagian besar tanah Indonesia ini dikuasai segelintir perusahaan saja seperti HPH, perkebunan sawit, tambang, dsb. Ada 1 orang (Sinarmas) yg menguasai 5 juta hektar tanah. Padahal jika dibagi ke 5 juta petani, bisa didapat 50 juta ton beras/tahun. Cukup untuk makan 500 juta orang.

Bagi Hafid, distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah.

Berdasarkan catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), "jika di tahun 2015 terjadi 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK. Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus."

Sumber lain, dari rilis catatan akhir tahun yang dikeluarkan oleh PP (pimpinan pusat) AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) menyebutkan, "Sepanjang tahun 2016, AGRA juga mencatat setidaknya ada 30 konflik agraria di 12 Provinsi yang mengakibatkan kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan masyarakat yang mempertahankan tanah, baik konflik baru atau konflik lama yang kembali memanas karena tak kunjung selesai."

"Dari 30 kasus tersebut 92 petani korban kekerasan, 39 korban penembakan, 228 orang ditangkap dan 83 dikriminalkan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini, sekitar 200 petani kecil ditangkap dan dikriminalkan dengan tuduhan pembakar lahan di Kalimantan dan Sumatra."

Dari data yang dihimpun oleh AGRA Jateng ditemukan fakta bahwa, "dari seluruh penghuni lapas di Blora 50% dipenuhi pelaku kriminal yang mayoritas kaum tani (didakwa mencuri kayu) ditengah monopoli tanah Perhutani di Kabupaten Blora mencapai 50 % dari luas administrasi kabupaten yang seluas 182.058 Ha."

"Dan belum lama ini, Perhutani terus memperkuat kerjasama dengan TNI, Polri, bahkan pemerintah daerah tingkat kabupaten untuk melakukan pengamanan hutan. Bahkan pemerintah daerah di beberapa kabupaten menjalankan MoU terkait pencegahan dan pengamanan hutan dari pengerahan intelejen, kontrol territorial, dan pengerahan pasukan tempur gabungan dengan penanganan persuasif maupun keras."

Masih dari data yang dihimpun oleh AGRA Jateng, "Perhutani sebagai cabang usaha milik Negara pada sektor kehutanan dijadikan perusahaan untuk kemanfaatan umum dan memupuk keuntungan dengan dasar hukum UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 72 Tahun 2010 yang berbasis pada monopoli tanah seluas 2.445.006 Ha atau 19 % dari luas daratan Jawa dan Madura yang melingkupi 5.403 desa sekitar dan di dalam hutan dengan jumlah penduduk hampir mencapai 6 juta kepala keluarga di Jawa dan Madura. Jika ambil rata setiap kepala keluarga terdapat 4 anggota keluarga, maka hampir mencapai 24 juta yang bergantung dan hidup di hutan. Di Jawa Timur seluas 1.133.835 Ha, Jawa Tengah seluas 635.747 Ha, dan Jawa Barat seluas 675.416 Ha."

Lebih parah lagi, selain terus melakukan tindak kekerasan yang semakin intensif, dari catatan yang dihimpun oleh Aliansi Mahasiswa Papua dalam periode April-Juni 2016 sedikitnya 4,080 orang petani, mahasiswa, suku bangsa minoritas dan masyarakat pedesaan di Papua telah ditangkap paksa oleh aparat." (AMP)

"Di DKI Jakarta dan sekitarnya, sepanjang tahun 2016 setidaknya telah tergusur sebanyak 1.275 jiwa di Bukit duri Jakarta Timur, 90 KK di rawajati kalibata Jakarta Selatan, 396 KK di pasar ikan Jakarta utara dan ancaman terhadap 7.000 Jiwa di Kampung baru Dadap Tanggerang. Dalam penggusuran tersebut, setidaknya 5 orang luka parah, 1 di tembak dan 17 lainnya ditangkap." (LBH Jakarta)

Berdasarkan catatan akhir tahun 2016, LBH Jakarta menerima setidaknya 1444 pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 121571 orang. LBH menangani lebih lanjut 165 kasus untuk ditangani secara struktural dengan total 8958 pencari keadilan.

Data AGRA menyebutkan, Saat ini monopoli tanah untuk sektor perkebunan dan pertambangan telah mencapi 41,87 juta hektar yang hanya dikuasai oleh segelintir Pengusaha Besar komperador dan Tuan Tanah Besar. Sekitar 35,8 juta hektar tanah dikuasai oleh hanya 531 perusahaan. Disisi yang lain setidaknya terdapat 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena penujukan kawasan hutan yang berpersoalan.

Terdapat 29 (duapuluh Sembilan) juta hektar tanah dimonopoli untuk perkebunan sawit, dan 5,1 juta hektar diantaranya hanya dikuasai oleh 25 tuan tanah besar swasata. Mereka adalah Wilamar Group Internasional, Sinar Mas Group, IOI Group, Raja Garuda Mas Goup, Batu Kawan Goup, Salim Group dan Goup Group lainya. Dan kesemuanya ini dapat terjadi akibat dari Kebijakan Pemerintah yang memberikan hak penguasaan yang monopli terhadap Tuan Tanah besar maupun Pengusaha Besar Komperador.
Negara yang secara konstitusional diberikan kewenangan untuk menguasai tanah dan diberikan kewenangan untuk mengatur demi kepentingan dan kemakmuran rakyat justru melakukan monopoli dangan hak memiliki. Setidaknya 1,18 juta hektar tanah dimiliki oleh Perkebunan Nusantara Holding III, dengan pengusahaan status lahan 68% sudah bersertifikat, 20% sertifikat berakhir atau sedang dalam proses perpanjangan dan 12% belum bersertifikat.

Catatan yang dirilis oleh KPA dan AGRA adalah sumber data paling valid di Indonesia, karena KPA sebagai NGO/Ornop yang memang fokus di isu-isu agraria dan AGRA adalah ormas (Organisasi masyarakat) sipil berskala nasional yang menghimpun petani, nelayan dan suku bangsa minoritas juga fokus pengorganisasian di isu agraria.

Tentu jumlah sebenarnya jauh lebmih tinggi mengingat data yg disebutkan adalah berdasarkan basis massa masing-masing, belum lagi catatan ormas tani atau lembaga yang lain yang juga fokus di isu agraria seperti STN (serikat tani nasional), SPI (Serikat Petani Indonesia), SPP (Serikat Petani Pesundan) selain lambaga atau organ nasional tadi, masih ada ribuan serikat tani lokal yang juga memiliki catatan dan besar kemungkinan konflik yang tak tercatat jauh lebih besar jumlahnya.



Reforma agraria palsu Jokowi-JK

Jokowi juga punya program feforma agraria, mengutip dari rilis yang diterbitkan oleh AGRA. menyebutkan : "Program reforma agraria Jokowi didalam strategi nasional pelaksanaan reforma agraria adalah program redistribusi dan legalisasi (sertifikasi) 9 juta hektar tanah, dan pencapaian target 12,7 juta ha untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Intinya program Reforma Agraria (RA) Jokowi adalah bagi-bagi tanah bekas HGU milik tuan tanah (perkebunan besar), Membagi tanah-tanah telantar milik tuan tanah (perkebunan besar), Membuka akses tanah milik tuan tanah besar seperti Perhutani kepada tani miskin dengan cara tumpang sari, PHBM, dan kemitraan."

"Dengan demikian, RA Jokowi akan tetap melestarikan monopoli tanah, karena tuan tanah tetap berkuasa memonopoli tanah, tetap bebas menghisap dan menindas buruh tani dan tani miskin. Membagikan tanah sisa milik tuan tanah kepada rakyat pedesaan secara terbatas dan hanya cukup untuk sebagian kecil (minoritas) rakyat miskin pedesaan. Sedangkan tenaga produktif kaum tani tidak akan bebas dari penghisapan dan penindasan feodalisme dan imperialisme."

Program RA Jokowi adalah palsu, karena program tersebut hanya legalisasi aset atau sertifikatisasi yang bertujuan untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan. Program ini bahkan semakin mengancam terjadinya perampasan tanah semakin massif dan legal, karena memudahkan jual-beli tanah yang menguntungkan perusahaan perkebunan besar dan perbankan yang dengan mudah dapat menyita asset kaum tani karena gagal bayar kredit akibat merosotnya harga komoditas pertanian.

Kesimpulannya bahwa, Ide, konsep dan pelaksanaan Program RA Jokowi bertentangan dengan aspirasi sejati kaum tani dan rakyat Indonesia. Dimana hakekat reforma agraria sejati yakni penghapusan atas monopoli tanah dan penghapusan setiap bentuk penghisapan dan penindasan yang bersumber dari monopoli atas tanah. Reforma agraria sejati, suatu konsep menyeluruh tata kelola dan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria, yang sanggup membebaskan kaum tani dan rakyat Indonesia secara umum, dari penghisapan dan penindasan feodalisme dan kapitalisme monopoli (imperialisme).

Reforma agraria sejati, sebagai fondasi bagi pembangunan Industri nasional untuk melahirkan modernisasi pertanian, sekaligus menjadi syarat mutlak bagi kemajuan tenaga produktif di pedesaan. RA dan pembangunan Industri nasional, sekaligus memutuskan ketergantungan kapital, alat kerja, sarana produksi pertanian hingga tujuan produksi pertanian yang tidak diabdikan pada kepentingan tuan tanah besar dan Imperialisme.


*******

WAYANG OTOK OBROL, WAYANG KULIT KEDU KHAS WONOSOBO


(Artikel ini ditulis oleh Lukman Riadus S [almarhum], pertama terbit di situs kompasiana pada 16 juni 2012, lukman adalah seorang seniman revolusioner asal Wonosobo, seorang budayawan cerdas, ahli seni lukis dan pandai dalam menulis. Wayang Otok Obrol ini menjadi penting untuk di dokumentasikan. Lukman bukan sejarawan tapi temuannya akan wayang tua di Nusantara pelopor pewayangan ngayogyakartanan dan surakartanan ini patut diapresiasi, temuannya mengenai seni wayang khas kedu otok obrol bahkan belum pernah ditemukan oleh peneliti sejarawan manapun. Dengan temuan lukman yang luar biasa maka khazanah literatur wayang indonesia perlu ditulis ulang, sejarah wayang gagrag bukan berasal dari Yogyakarta atau Solo seperti kebanyakan anggapan orang, seni Wayang gagrag justru berasal dari Wonosobo)

******

WAYANG OTOK OBROL, WAYANG KULIT KEDU KHAS WONOSOBO


Oleh : Lukman Riadus S


PBB melalui UNESCO sejak 27 April 2007 telah menetapkan wayang sebagai Masterpiece Etangable Heritage Humanity, pengakuan dunia internasional bahwa wayang merupakan warisan mahakarya bangsa. Dalam wayang termuat nilai-nilai sosiologis, etika dan humanism serta filsafat hidup yang bersifat sosio-spiritual. Dan wayang kedu adalah salah satunya dari puluhan jenis wayang di tanah air.

Dalam buku Kota Jogjakarta 200 Tahun, diterangkan bahwa bentuk wayang Kedu dibuat pertamakali oleh seorang bernama Ki Atak dari Desa Danaraja, Kabupaten Wonosobo pada zaman perang Giyanti sekitar tahun 1755 Masehi. Pada masa perang Giyanti, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I) lolos dari Surakarta diikuti oleh abdi pênatah bernama Ki Jayaprana beserta anaknya yang bernama Jaka Penatas menuju daerah Kedu. Di daerah tersebut Ki Jayaprana dan Jaka Penatas menginap di rumah Ki Atak di Desa Danaraja. Selama tinggal di rumah Ki Atak kebutuhan hidupnya dicukupi oleh Ki Atak. Sebagai balas budi, Ki Jayaprana memberi pelajaran membuat wayang pada Ki Atak. Persaudaraan menjadi erat setelah Jaka Penatas dikawinkan dengan Sutiyah anak Ki Atak. Dari perkawinan itu lahir Bagus Riwong yang pada waktu berikutnya menurunkan dalang-dalang daerah Yogyakarta. Setelah perang Giyanti berakhir, Ki Jayaprana dan Jaka Penatas mengabdi di Yogyakarta, sedangkan Ki Atak melanjutkan membuat wayang di Wonosobo. Wayang buatan Ki Atak ini berciri kak-kong dan merupakan awal mula bentuk wayang Kedu. Kata kak-kong berasal dari bahasa Jawa tungkak-bokong, yang berarti tumit-pantat. Maksud kata kak-kong disini adalah jarak antara tumit dengan pantat dekat. Lawan kata kak-kong adalah kong-ngêl (pantat-tengkuk), artinya jarak pantat dekat dengan tengkuk.

Hal ini dibenarkan oleh pak Sagio alias Mas Lurah Perwitawiguna (pemberian gelar nama dari Kraton Jogya) adalah seorang ahli tatah sungging wayang Kulit Purwa gagrag (corak/gaya) Jogyakarta yang tinggal di Bangunjiwa Kasihan Bantul, saat acara Bincang-bincang Seni di Bentara Budaya Jogyakarta, Jumat 20 April 2012. Bahkan ia mengatakan bahwa jayaprana dan jaka panatas sebagai Perintis seni tatah sungging wayang kulit gagrag Jogyakarta. Karena munculnya wayang kulit purwa (wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh dari cerita Ramayana dan Mahabarata). gagrag Jogyakarta ini seiring dengan berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menyusul Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua (palihan negari) yaitu Surakarta dan Jogyakarta. Salah satu isi dari perjanjian tersebut bahwa Sultan Jogyakarta akan melanjutkan tradisi Mataram, sedangkan Sunan Surakarta akan membuat yang baru, termaksuk dalam hal ini Wayang Kulit Purwa.

Oleh karenanya sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, wayang kulit yang ada disebut dengan wayang kulit gagrag Jogyakarta. Walaupun pada kenyataan lahirnya wayang gagrag Jogyakarta secara utuh mulai pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII dan Sultan Hamengkubuwono VIII, karena sebelum Sultan Hamengkubuwono VII wayang kulit purwa yang ada di kraton Jogyakarta masih campuran dengan gagrag Surakarta.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa wayang kedu menjadi cikal bakan atau induk seni pewayangan di tanah air khususnya gagrag Yogyakarta yang sekarang ini lebih terlihat njelimet, halus dan kesempurnaan estetikanya sangat menonjol.

Namun bila merunut sejarah kelahiran wayang kedu sendiri banyak terdapat kesimpang siuran tokoh pelaku maupun data tahun, baik dari cerita lisan para Dalang maupun tulisan seperti buku Kota Jogjakarta 200 Tahun yang telah dikutip diatas maupun serat Centini pada pupuh Salisir (139), pada pada ke 35-41, 53 dan 54. Maupun naskah "Riwayat Pertumbuhan/Kehidupan Wayang Kulit Gaya Kedu" yang disusun oleh Sri Soedarsono.



KELOMPOK WAYANG OTOK OBROL ”JETAYU”

NAMA PENDIRI : KI DALANG MAKIM KARTOSUDARMO
NAMA KETUA : Bp. SLAMET
DIDIRIKAN TAHUN : 1995 (Terorganisir Th. 2005)
JUMLAH ANGGOTA : 15 Niaga + 1 Dalang
JENIS ALAT MUSIK : Saron, bonang, demung, kenong,
robuk, kendang, dan gong.
INTENSITAS PERTUNJUKAN : Rata-rata 3 kali dalam setahun
INTENSITAS LATIHAN : 2 kali dalam seminggu
CIRI KHAS : Bentuk wayang besar dan gemuk,
bungkuk dengan wajah dingin
ALAMAT : Rt. 01/ Rw. 06 Ds. Selokromo, Kec. Leksono

Sejarah Otok Obrol

Sumber Ki Makim Kartosudarmo;

Diceritakan Sekitar abad ke14lalu di desa Traci daerah Kedu, hidup seorang Dalang Mbah Ganda Wiragaru yang mengajarkan permainan pewayangan dengan cara yang sangat sederhana, dengan model pengajaran yang nge_fun, sehingga dalam berlatih instrument masih asal (tanpa not) dan asal cocok (Nguntuk) dan juga guyonan (ngobrol) sehingga terciptalah istilah ‘Otok Obrol’ sebagai nama dari jenis Wayang gaya Kedu ini,dengan keterbatasan alat music (yaitu hanya ada tujuh instrumen gamelan, yakni saron, bonang, demung, kenong, robuk, kendang, dan gong). dan keselarasan instrument hanya berdasar insting belaka, menjadikan keunikan dan kekhasan sebagai olah instuisi original. Sehingga terciptalah karakter yang dinamis dengan pakem yang khas. Dan uniknya ada beberapa cerita yang tidak dipunyai oleh lakon dalam pewayangan lain seperti gaya Solo, Yogya maupun Banyumasan, seperti ; Lampahing Sutopo, Murti Serat, Semar Sepit, Semar cukur, dll. Selain itu yang menjadi semakin terasa kekhasannya dari wayang ini adalah dari ketiadaan Sinden dan juga dalam bentuk peperangan yang seadanya saja. Dalam masalah ketiadaan Sinden memang sesuatu yang tetap dijaga sesuai dengan sejarah penciptaannya yang saat itu belum ada Sinden, sehingga sampai sekarang pun penampilan wayang Otok Obrol hanya dalang sebagai actor utama, karna para Niaganya hanya murni memainkan music pengiring, namun dalam pementasan wayang kedu lainnya salah seorang Niaga kadang merangkap menjadi sinden juga.

Secara fisik bahan kulit untuk Wayang terbuat dari kulit Lembu, dengan berbentuk tokoh besar-besar, gemuk dan lebih bungkuk (muka lebih menunduk) daripada bentuk Wayang pada umumnya, serta rambut dan badan berhiaskan kembang. Selain menjadikan lebih berat, juga tekhnik permainan yang lebih agresif memungkinkan Wayang Kulit ini sulit untuk dimainkan, sehingga dalam pelatihannya_pun kadang memakai Wayang gaya Solo.

Tidak dipungkiri bila binaan Ki Makim Kartosudarmo sangatlah berarti bagi kelestarian wayang Otok Obrol gaya Kedu ini, namun sangat disayangkan karena Tercatat untuk daerah Wonosobo sendiri saat ini hanyatinggal ia satu-satunya Dalang yang masih hidup dan tetap aktif memainkannya walaupun sudah berusia lanjut (lahir Tahun 1939) “dahulu ada banyak namun semuanya sudah meninggal, seperti Mbah Warso di Prombanan, Pak Dolah di Binangun Kertek, Pak kaco di mendala, pak marto singkir, ganda wira sari, dan Mbah Arjo Pawiro yang meninggal di Tahun 1950 serta Mbah Karto Sugondo” ungkap Ki Makim.

Keunikan lain adalah Sunggingan yang mengunakan pewarna alami seperti ;
a. Warna hitam terbuat dari oyan ( langês).
b. Warna merah terbuat dari bijih gêndhulak yang dijadikan tepung.
c. Warna hijau terbuat daun kara yang diambil sari warna daunnya dengan cara ditumbuk.
d. Warna kuning terbuat dari serbuk batu-batuan.
e. Warna prada terbuat dari serbuk emas.
f. Warna putih terbuat dari tepung bijih cêplikan, atau dari abu tulang kerbau.
g. Warna biru kurang bisa dijelaskan (buah pace?), sedangkan untuk warna lain merupakan pencampuran warna-warna di atas. Dan sebagai bahan pencairnya digunakan getah pepaya muda.

Dari sisi kostum, wayang kedu ini hanya menggunakan cawat (pakaian dalam). Itu berbeda dari wayang model mataraman yang sudah menggunakan pakaian lengkap, rambut, dan badan polos, bentuk lebih kecil dan muka lebih tegak.

Yang menarik lagi bahwa dalam kelompok ini masih tersimpan tokoh wayang (Arjuna) yang dibuat tahun 1700an, yang hanya khusus untuk acara tertentu seperti ruwatan, itupun belum tentu setahun sekali ditampilkan, kondisinya yang sudah mulai rusak dengan sunggingan yang cukup mengagumkan menjadikan tokoh wayang ini menjadi jimat yang di keramatkan.

TAMBAHAN

Tatahan yang terdapat pada wayang kulit gaya Kedu ini pada dasarnya sama dengan tatahan wayang kulit di Jawa pada umumnya. Secara tekhnis perbedaan itu terletak pada bentuk tatahan yang dihasilkan dengan peralatan yang masih sederhana. Karena alat yang digunakan untuk memahat waktu itu adalah pangot, sehingga hasil pahatannya kelihatan besar-besar. Jika dilihat dari bentuk fisik, wayang kulit gaya Kedu lebih cenderung dekat dengan gaya Yogyakarta, namun bentuk dan susunan tatahan yang diterapkan lebih banyak kesamaannya dengan gaya Surakarta, hanya saja tatahan gaya Kedu jenisnya tidak selengkap seperti pada gaya Surakarta. Sebagai contoh corak tatahan seperti bubuk manis pipil, intênan pipil, srunèn pipil tidak ditemui pada wayang kulit gaya Kedu. Selain itu belum banyak penerapan dan perlengkapan busana wayang.

Sunggingan adalah hasil pewarnaan pada wayang kulit. Pengerjaan sunggingan dan pewarnaan belum halus dan rapi. Sunggingan byor (gradasi warna) pada perpindahan tingkatan warnanya sangat tegas, sebab sebagian besar bentuk sunggingan byor hanya terdiri dari dua tingkatan saja, bahkan ada bidang yang seharusnya dibyor hanya di sungging polos dengan satu warna (tidak bergradasi). Pada wayang kulit gaya Kedu tidak ada unsur sunggingan drênjêman dan cawèn. Menurut para pengamat dan ahli wayang, bahwa wayang kulit yang tidak memiliki drênjêman dan cawèn menandakan wayang tersebut berusia tua. Hal ini menegaskan secara fisik wayang gaya Kedu lebih tua dari pada gaya Yogyakarta maupun Surakarta.



Perlengkapan Pentas

1.Gawangan dan Kêlir

Gawangan adalah sarana untuk membentangkan kêlir yang terbuat dari kayu atau bambu. Pada masa dahulu gawangan dipersiapkan secara mendadak. Ini dapat dimengerti, karena pertunjukkan wayang pada masa-masa itu masih sederhana, serta perlengkapan pembuatan gawangan mudah di dapat di setiap tempat. Berbeda dengan pertunjukkan wayang masa sekarang yang segalanya telah dipersiapkan matang-matang, sehingga gawangan banyak yang bersifat permanen. Ukuran gawangan, panjang kurang lebih 3 meter dan tingginya 2,5 meter. Ukuran ini disesuaikan dengan ukuran pintu gêbyog perumahan zaman dahulu. Kêlir atau layarterbuat dari kain blaco berwarna putih dengan ukuran menyesuaikan ukuran gawangan, bagian tepi kêlir diberi kain berwarna merah atau hitam selebar kira-kira 20 cm sebagai pasitèn dan pêlangitan.

Penerapannya kêlir direntangkan pada gawangan. Di bawahnya dibujurkan gêdêbog yang disusun sedemikian rupa untuk menancapkan wayang. Penataan semcam ini dalam tradisi pedalangan disebut panggungan.

2. Bléncong

Bléncong yaitu sebuah lampu berbentuk seperti cèrèt terbuat dari bahan kuningan dengan sumbu benang lawé, dan untuk bahan bakar digunakan minyak kelapa. Bléncong ini digantungkan, diatur sedemikian rupa sehingga posisinya berada di antara dalang dan kêlir. Selain untuk alat penerangan, cahaya bléncong diarahkan menuju kêlir sehingga wayang yang dimainkan dalang jika dilihat dari balik kêlir akan menghasilkan suatu pertunjukan bayangan. Pada masa sekarang nyala api bléncong telah digantikan oleh lampu listrik.

3. Kothak

Kothak adalah kotak penyimpanan wayang terbuat dari kayu. Ada beberapa jenis kayu yang dianggap memiliki kualitas bagus untuk kotak wayang. Kualitas ini berdasarkan kekuatan kayu dan suara yang dihasilkan ketika kotak dipukul dengan cêmpala. Jenis kayu ideal yang memenuhi standar adalah kayu surèn dan nangka. Ukuran kotak kira-kira panjang 2 meter, lebar 0,75 meter dan tinggi 0,5 meter. Dalam pertunjukan kothak ini diletakkan di sisi kiri dalang, sedangkan tutupnya diletakkan di sisi kanan. Wayang-wayang yang akan digunakan dalam pementasan diletakkan dalam kothak dan di atas tutup kothak.

4.Cêmpala dan Kêprak

Cêmpala adalah alat yang digunakan dalang untuk memukul kothak. Cêmpala dibuat dari bahan kayu, tanduk atau besi sebanyak dua buah. Satu untuk cêmpala tangan yang lain untuk cêmpala kaki. Cêmpala tangan lebih besar dari pada cêmpala kaki. Cêmpala tangan digunakan untuk platukan, cêmpala kaki untuk memukul kotak dan kêprak. Kêprak terbuat dari bahan baja atau kuningan berjumlah tiga keping. Kedua alat ini dimainkan oleh dalang untuk mendukung suasana adegan pada pakêliran.

5. Ricikan Gamêlan

Gamêlan yang digunakan sebagai iringan, yatiu satu perangkat gamêlan Laras Sléndro dengan instrumen sejumlah 14 buah, yaitu sebuah kêndhang, gambang, rêbab, dêmung, saron, bonang barung, bonang pênêrus, slênthêm, gong laras nêm, kêmpul laras nêm, kêthuk, kênong laras nêm, kêcèr, dan suling. Keempatbelas instrumen tersebut dimainkan oleh sebelas orang pêngrawit, masing-masing memainkan satu instrumen. Tiga orang pêngrawit masing memainkan dua instrumen, yaitu gong laras nêm dan kêmpul laras nêm, kêthuk dan kênong, serta kêcèr dan suli

*******